Meningkatnya angka kasus kenakalan remaja, khususnya pergaulan bebas mengundang keprihatinan dari berbagai kalangan. Hal ini terungkap dalam diskusi kelompok terumpun atau Focus Group Discussion (FGD) yang digelar Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Jember. Diskusi yang digelar pada Rabu (12/06/2023) di kantor sekretariat MUI Jember itu menghadirkan berbagai kalangan. Mulai dari kalangan pemerintah, pengadilan, organisasi masyarakat, aktivis gender hingga pihak kampus.
“Kita menggelar FGD sebagai tahap awal untuk mencari solusi konkret. Nantinya dari diskusi ini akan tindakan lanjutan antara lain dengan menyusun naskah akademik untuk kami usulkan kepada pemerintah daerah,” ujar Ketua Umum MUI Kabupaten Jember, Dr KH Abdul Haris dalam keterangan tertulisnya pada Kamis (13/07/2023).
Melalui upaya tersebut, Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jember memandang perlu mengajak semua pihak yang memiliki kepentingan dan kewenangan
untuk menyelesaikan masalah tersebut secara bersama-sama. “Harapannya, bisa dilahirkan solusi konkret seperti regulasi yang mencegah kasus-kasus kenakalan remaja,”
Salah satu yang disorot dalam diskusi antara lain masih tingginya kasus pernikahan dini di Jember. Perwakilan Pengadilan Agama (PA) Jember yang hadir dalam FGD menyebut, angka pernikahan dini di Jember tergolong tinggi. Sejak awal tahun hingga bulan Juni 2023 ini, tercatat ada lebih dari 1.600 dispensasi kawin (diska) di PA Jember. Angka tersebut diyakini akan terus bertambah hingga akhir tahun nanti. Tahun lalu, Jember menduduki peringkat ketiga angka diska.
Sebagai catatan, diska memang tidak selalu otomatis terkait dengan kenakalan remaja. Namun usia perkawinan yang terlalu dini dikhawatirkan bisa menimbulkan permasalahan lain.
Di sisi lain, kasus perceraian di Jember yang cukup tinggi, kebanyakan dipicu oleh kasus perselingkuhan.
PA Jember sendiri, dalam menangani permohonan dispensasi kawin menyatakan tidak selalu mengabulkannya. Sebab majelis hakim akan selalu meneliti berkas permohonan terutama jika calon pengantin usianya terlalu muda.
Untuk mencegah kasus kenakalan remaja, pihak PA Jember menyarankan tentang perlunya peningkatan pemahaman keagamaan terutama kepada generasi muda.
Upaya pendewasaan usia perkawinan bisa dilakukan dari kerjasama pihak lain, seperti institusi pendidikan misalnya.
Sementara itu, pihak Kemenag Jember yang diwakili Kasi Penma, Faisal Abrari menjelaskan, pihaknya selama ini belum pernah menerima permohonan dari peserta didik di madrasah, untuk menikah. “Karena kalau mengajukan, pasti tidak akan kami izinkan,” ujar Faisal.
Faisal juga menilai, perlunya lembaga pendidikan untuk mengadopsi pola pendidikan karakter yang ada di pesantren untuk mencegah kasus kenakalan remaja.
Sementara itu, Fattah, perwakilan dari Dinas Pendidikan Nasional (Diknas) Kabupaten Jember mengungkapkan tentang kasus-kasus kenakalan remaja yang terkait pergaulan bebas di Jember. Pihak sekolah dan juga Diknas Jember sudah berupaya untuk melakukan upaya penindakan dan juga pencegahan. Salah satunya dengan memberikan materi penyuluhan tentang pendidikan seks remaja kepada peserta didik. Bekerjasama dengan pihak LSM Suara, Diknas Jember sudah pernah menginstruksikan pihak sekolah untuk memberikan alokasi waktu yang diisi dengan penyuluhan pendidikan seks remaja. Tujuannya agar para pelajar bisa mengetahui organ reproduksinya dan tidak terjebak pada pergaulan bebas.
Semula, upaya itu sempat mendapat tentangan dari beberapa pihak. Sebab ada penggunaan kata “seks” dalam kegiatan itu yang menimbulkan kesalahpahaman. Namun setelah kegiatan penyuluhan diganti namanya dengan materi terkait reproduksi remaja serta materinya dipahami para guru dan orang tua, kegiatan itu akhirnya diterima semua pihak.
Inisiatif Diknas Jember itu mendapat apresiasi positif dari Farha Ciciek, pegiat kelompok Tanoker di Ledokombo yang juga menjadi salah satu peserta FGD. Menurutnya, perlu ada modifikasi nama untuk menghilangkan kesalah pahaman terkadang edukasi reproduksi remaja.
Menurut Farha Ciciek, kondisi saat ini membutuhkan perhatian serius dari berbagai pihak. Sebab banyak kasus, mereka yang seharusnya menjadi pelindung anak justru menjadi predator anak. Kondisi ini yang beberapa dasawarsa lalu, tidak terbayangkan, kini justru banyak terjadi kasusnya.
“Karena itu, kami mengapresiasi MUI Jember yang berinisiatif untuk mendorong masalah ini sebagai gerakan. Yakni bagaimana memasukkan kesadaran untuk bersama-sama mengatasi masalah ini, dimulai dari pencegahan,” papar Farha Ciciek yang bersama kelompok Tanoker fokus pada pendampingan anak-anak buruh migran.
Ustadz Kholili, ketua Komisi Hukum MUI Jember yang juga banyak melakukan pendampingan pekerja migran dan juga anak-anak menyebut, kasus pergaulan bebas akhir-akhir ini makin mengkhawatirkan dan relatif banyak merugikan perempuan. Ia antara lain menyebut sejumlah laporan kasus revenge porn yang terjadi di Jember. Yakni penggunaan foto atau video tertentu sebagai ancaman untuk memaksa korban , sehingga si anak perempuan bisa dipaksa melakukan hubungan sexual beberapa kali.
Kasus ini sangat merugikan kalangan perempuan karena ketika pihak laki-laki dimintakan pertanggungjawaban cenderung aman, dengan dalih ini merupakan “pergaulan bebas atas dasar mau sama mau”.
“Butuh benteng agama yang lebih kuat untuk mencegah kasus-kasus seperti ini,” papar Kholili.
Terkait hal itu, Bu Menik dari Aisyiyah Jember mengusulkan agar perlu memasukkan materi terkait kenakalan dan pergaulan bebas remaja ke dalam kurikulum sekolah. “Bisa dimasukkan dalam materi keagamaan maupun biologi. Serta gagasan satuan terpisah antara laki-laki dan perempuan
Di samping itu dilakukan penguatan keterlibatan keluarga dan masyarakat secara umum, seperti khatib saat khotbah dan lain sebagainya,” ujar Menik.
Sedangkan Nur Wahdatul Ilmi dari Fatayat NU Jember menyebut, banyak kasus kekerasan seksual yang ditangani pihaknya, justru terjadi oleh orang-orang terdekat. Bahkan pelakunya merupakan kalangan terdidik
“Di antara penyebab anak menjadi nakal, bahkan melaggar asusila karena komunikasi yang kurang baik dengan orang tua yang seharusnya menjadi pelindungnya. Karena itu harus dimulai dari memperbaiki orang tuanya,” ujar Nur.
“Melabeli anak dengan “anak nakal” cukup membuat mereka menjadi korban di kejadian selanjutnya, karena sebenarnya “anak yang nakal” yakni bermasalah, pada dasarnya mereka adalah bagian dari “korban”, karena mereka masih di bawah umur,” sambung Nur.
Sementara itu, Sutipah dari Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) mendorong, agar remaja perempuan yang mengalami kondisi kehamilan yang tidak diinginkan, agar tetap mendapatkan haknya memperoleh akses pendidikan. “Jangan sampai sekolahnya putus. Ini penting,” tegasnya.
Sedangkan Dr Dhian Wahana Putra dari Universitas Muhammadiyah Jember menyoroti tentang efektivitas Perda Kos-kosan. Hal ini penting untuk mencegah pergaulan bebas. Pendapat ini juga diamini KH Hamam, Wakil Ketua MUI Jember yang menilai perlunya penguatan peran RT-RW serta lurah untuk mengawasi kos-kosan terutama yang minim kontrol dari pemiliknya. (*)